Belajar dari pengalaman tentang tsunami dan gempa, pemerintah Jepang sangat tanggap terhadap bencana alam itu. Pun demikian dengan masyarakatnya yang sangat tanggap dan siaga. Gempa dan tsunami adalah bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Kondisi alam di negeri Matahari Terbit ini berada pada empat patahan sehingga berpotensi gempa di dasar laut.
Ujung-ujungnya, tsunami bisa melanda negeri kepulauan tersebut setiap saat. Sejarah Jepang mencatat setidaknya 195 tsunami telah terjadi. Contohnya tsunami pada Februari 2010. Tsunami akibat gempa di Cile dengan 8,8 skala richter telah mencapai pulau-pulau utama Jepang. Saat itu, Badan Meteorologi Jepang secara resmi memperingatkan warga Jepang untuk waspada terhadap ancaman tsunami. Ini adalah ancaman tsunami terbesar yang dikeluarkan dalam 20 tahun terakhir.
Di setiap saluran televisi, ditayangkan peta Jepang dengan tanda merah pada beberapa tempat yang mendapat ancaman tsunami. Jepang sebelumnya telah meminta ratusan ribu penduduk di daerah dataran rendah untuk mencari tempat yang lebih tinggi sebagai antisipasi datangnya gelombang yang ditimbulkan oleh gempa Cile yang melintasi Pasifik dengan kecepatan ratusan kilometer per jam. Pasca gempa 8,8 skala richter dan tsunami di Cile, ancaman tsunami memang sempat membuat kecemasan warga Jepang.
Hal ini wajar karena hal serupa pernah terjadi pada 1960. Saat itu, Cile dihantam gempa 9,5 skala richter, dan tak lama kemudian dampaknya berimbas ke Jepang, Hawaii, dan Filipina. Korban meninggal saat itu mencapai 140 orang di Jepang. Untuk itu, Jepang giat membangun berbagai infrastruktur guna menyiasati dampak tsunami.
Menara Evakuasi
Murata menjelaskan negerinya membangun tembok pemecah ombak (breakwaters) dan pintu air (watergates) untuk mencegah bahaya tsunami dan melindungi nyawa manusia serta aset bernilai ekonomi. Bangunan tersebut kini terdapat di Kota Ofunato, Iwate. Breakwaters dibangun di mulut pelabuhan kota ini. Ada tiga posisi breakwaters yang terpasang di kota ini, yakni breakwaters utara, selatan, dan mulut breakwaters.
Panjangnya masing-masing 243, 291, dan 201 meter. Adapun pintu air alias watergates merupakan bangunan yang dapat membendung dan mengalihkan aliran atau saluran sungai tatkala ada gelombang tsunami. Bangunan ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan, bergantung pada karakteristik daerahnya. Di Ohma, Kota Susaki, misalnya, pintu air dibangun dan dipasang untuk mencegah empasan tsunami.
Selain itu, Jepang rajin membangun menara evakuasi, khususnya untuk daerah yang tidak memiliki dataran yang lebih tinggi atau bangunan tinggi. Menara evakuasi ini bisa dilihat dari Kushimoto. Wakayama, menara evakuasi ini, berupa bangunan dua lantai yang terbuat dari bahan yang kokoh. Di prefektur Shizuoka yang terletak di pantai timur Jepang yang rawan tsunami, terdapat 258 tempat perlindungan antitsunami dan gempa di sepanjang pantai.
Kota-kota pesisir lainnya sudah membangun tanggul antibanjir agar air dari tsunami tidak masuk ke pedalaman melalui sungai dan menimbulkan kerusakan. Temboktembok tsunami juga mengelilingi bagian pantai lainnya untuk mencegah timbulnya kerusakan. Sementara di Indonesia, pengetahuan mengenai tsunami ini masih awam bagi masyarakat.
Padahal, berbagai penelitian yang dilakukan oleh CDIT Jepang menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai gejala tsunami dan cara menyelamatkan diri terbukti mengurangi jumlah korban meninggal dalam skala besar. “Pendidikan tentang tsunami itu penting untuk menyelamatkan korban jiwa lebih banyak,” tandas Murata. Pada tsunami Cile Februari 2010 yang menelan 500 nyawa, Desa Dichato, Jepang, menjadi satu-satunya desa yang persentase penduduk selamatnya jauh lebih tinggi dari korban meninggal.
Anomali ini disebabkan penduduk desa itu memiliki memori akan tsunami yang terjadi 50 tahun sebelumnya. Ini serupa dengan cerita turun-temurun tentang smoong yang menyelamatkan masyarakat Simelue ketika tsunami dahsyat menghantam Aceh pada 2004. Selain kearifan lokal yang sering berkembang dalam bentuk cerita rakyat, pendidikan kesiapsiagaan penting masuk menjadi kurikulum sekolah.
Hutan Pantai
Guna menyiasati bahaya tsunami, Subandono Diposaptono, Direktur Pesisir dan Lautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjelaskan bahan bangunan di sekitar pantai akan lebih tahan terhadap tsunami bila dilindungi hutan di pantai, berbentuk rumah panggung, dan bangunan tidak menghadap pantai. Untuk itu, dalam mitigasi bencana, diperlukan penanaman hutan di sekitar pesisir dan mengubah model bangunan di sekitar pantai.
Lebih lanjut, Subandono mengatakan persiapan dalam menghadapi tsunami harus dilakukan dengan menyiapkan peta rawan tsunami dan jalur evakuasi. Peta dan jalur tersebut harus dapat disosialisasikan secara maksimal ke masyarakat. Jika hal ini dilakoni dengan baik oleh pemerintah dan warga, akan menambah sistem peringatan dini. ”Membangun rumah panggung dan memperbanyak hutan bakau bisa bermanfaat meminimalisasi efek tsunami,” kata Pariatmono, Asisten Deputi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi.
Kendati demikian, Pariatmono menyatakan bahwa pemerintah sebenarnya telah membangun sistem peringatan dini di beberapa laut yang rawan tsunami. Misalnya saja buoy. Pemerintah telah memasang 23 sensor gelombang tsunami (buoy Tsunami) sejak 2006. Namun, kendala yang dihadapi adalah vandalisme dan pemilihan lokasi penempatan sensor yang kurang akurat.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pertengahan November nanti, meluncurkan kembali buoy tsunami atau sensor gelombang tsunami di Kepulauan Mentawai sebagai bagian dari peringatan dini tsunami. Seyogianya kita memetik pengalaman masa lalu. Sudah banyak pil pahit yang ditelan negeri ini akibat tsunami. Kita dapat belajar dari Negeri Sakura yang juga langganan gempa dan tsunami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar