1.
Meletusnya
kerusuhan kalbar dan kalteng
Sejumlah konflik komunal berdarah telah mengguncang
beberapa daerah di Indonesia pada sekitar akhir 1990-an hingga awal 2000-an.
Gelombang konflik dengan kekerasan ini merisaukan banyak kalangan, disamping
lantaran lambannya penyelesaian oleh Negara, juga menyangkut jatuhnya korban
yang tidak sedikit. Berbagai penjelasan dan hipotesis telah dikemukakan untuk
menganalisis terjadinya konflik. Ada pandangan bahwa transisi politik
otoritarianisme menujudemokratisasi diduga sebagai salah satu variable antara
terjadinya berbagai konflik komunal di nusantara yang multicultural ini.
Keadaaan ketidakpastian di masa transisi rezim telah
menyebabkan gejala lemah dan gagalnya Negara dalam menegakan aturan dan control
terhadap masyarakat. Beberapa pihak juga mengaitkan akumulasi dampak negative
pembangunan Orde Baru, seperti ketidakadilan (marginalisasi), kesenjangan
ekonomi, maupun factor cultural dan rusaknya jaringan social budaya
local-tradisional sebagai sumber pendukung pecahnya konflik komunal,
sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan beberapa
daerah lainnya di Indonesia.
Konflik kekerasan yang terjadi di provinsi kalbar
dan kalteng bisa dikatakan sebagai kerusuhan antar-etnik. Kelompok masyarakat yang
mengatas namakan dirinya sebagai suku asli Kalimantan yang disebut etnik Dayak
dan Melayu, berhadapan dengan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai
pendatang dari pulau Madura (Etnik Madura). Saling bunuh tak terhindarkan
bagaikan antaretnik sudah tidak saling percaya dan mengangggap eksistensim suku
yang satu menjadim penghalang eksistensi suku yang lain.
Kerusuhan pecah pada akhir Februari 2011 di wilayah
Kalteng. Ribuan orang Dayak yang bersenjatakan busur, panah, tombak memburu
warga ,dari etnik Madura. Tindakan perusuhan dan perusakan nyaris berlangsung
di semua desa.kerusuhan semula terjadi disekitar sepekan di kota Sampit, namun
kemudian merembet ke Kuala papuas, Pangkalan Bun, dan palangkaraya. Kurang dari
dua pecan, orang dayak telah memburu lebih dari 400 orang Madura dan 80.000
sisanya dipaksa keluar dari bumi Kalimantan untuk kembali ke daerah asalnya di
Pulau Madura.
Dua tahun sebelumnya kerusuhan serupa meletus di
Kalbar, Yakni tepatnya pada Februari 1999 yang terjadi di Kabupaten Sambas.
Pada kejadian di Sambas, etnik Dayak membantu etnik Melayu dengan target yang
sama, yakni suku Madura. Catatan resmi menyebutkan korban menunggal sekitar 200
orang. Konflik ini masih berlanjut, sebab setahun kemudian pada 25 Oktober
2000, Massa dalam jumlah besar kembali mengepung GOR Pontianak, tempat
penampungan pengungsi dari kelompok etnik Madura.
Kendati dari sudut actor pelaku tindak kekerasan
dilapangan terdapat persamaan, dari karakteristik dan sumber konflik diantara
keduanya terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Konflik etnik di Kalbar,
khusunya antara dayak melawan Madura
memiliki sejarah yang panjang dan telah berlangsung beberapa decade. Pertikaian
terjadi sejak 1950-an antara etnik dayak dan Madura yang tiada berkesudahan dan
telah mengakibatkan ribuan orang terbunuh dari kedua pihak. Hubungan social
antar-etnik di wilayah ini tidak berjalan dengan baik. Konflik lebih mengemuka
dibanding dengan kerja sama, serta integrasi gagal terwujud.
Berkurangnya daya dukung lingkungan akibat pembangunan
yang merusak lingkungan serta memarginalkan penduduk asli setempat telah
mengakselerasi dan mengakumulasi prasangka antar-etnik, sementara dilain pihak
pola pemukiman khususnya warga Madura tersegregasi secara eksklusif.
Pemukiman-pemukiman yang terpisah dari penduduk setempat ini telah mempersulit
terjadinya kontak social dengan warga etnik lain. Situasi berbeda akan terlihat
di Kalteng, dimana dalam sejarahnya hampir dapat dikatakan tidak pernah terjadi
konflik yang menjurus pada kekerasan, kecuali menyangkut bebrapa konflik kecil.
Hubungan social antara warga pendatang dengan
penduduk asli terjalin dengan cukup baik, kendati mulai diperumit dengan
masalah semakin terdesaknya suku asli Dayak dari kehidupan ekonomi. Itulah
mengapa banyak pihak yang terkejut bagaimana mungkin kerusuhan di sampit pada
2001 menjadi sangat massif dan mengakibatkan ratusan orang tewas.
Ada beberapa factor penyebab mengapa konflik di
kalbar dan kalteng bisa meluas. Selain kebijakan komersialisasi hutang yang
cenderung membuat rakyat setempat menjadi frustasi, tidak ditegakannya hokum
oleh aparat keamanan , situasi politik yang tidak menentu, resesi ekonomi,
euphoria otonomi daerah, kemajuan etnisitas, tidak adanya budaya dominan, dan
adanya perbedaan budaya antara kaum pendatang dengan penduduk setempat. Yang
tidak kalah pentingnya adalah kemungkinan peranan provokator khususnya yang
terjadi di kalteng.
Jelas terdapat perbedaan antara kalangan kulturalis
dan strukturalis dalam member gambaran sistematis tentang kehidupan kota-kota
(kecil-menengah) di luar jawa. Sisi cultural mendasarkan analisisnya pada
indicator-indikator seperti tingkat kekerabatan dari kelompok-kelompok etnik
dan agama, munculnya sikap-sikap intoleran dan sejarah dari konflik komunal.
Sementara pandangan structural mengamati sejumlah variable seperti masalah
pengangguran, mobilitas social, , pendidikan, dan indicator kehidupan social
lainnya seperti tingkat kelahiran dan kematian. Senantiasa ada perdebatanbagaikan
tiada akhir dan tak bertepi dalam member penjelasan atas suatu konflik komunal,
yakni apakah itu bersumber dari factor adanya dendam primordial ataukah akibat
dampak dari mobilitas social.
Salah satu penjelasan structural menyatakan bahwa
kepentingan ekonomi merupakan variable penting bagi konflik komunal. Penting
diperhatikan mengenai seberapa banyak warga yang tidak lagi bekerja di
penghidupan utamanya semula sebagai petani dan nelayan. Orang-orang semacam itu
akan menetap di kota atau bergantung padanya untuk mencari penghidupan. Disini
terjadilah peningkatan dalam populasi pekerjaan non-pertanian, yang disebut de-agrianisation, sebagai fenomena yang
terjadi di banyak Negara fenomena memperlihatkan adanya penurunan
ketergantungan pada bidang pertanian yang disebabkan oleh peningkatkan
masukanya kehidupan kota di pedesaaan.
Indonesia selama masa orde baru merupakan salah satu
Negara yang mengalami pergeseran besar-besaran sehingga banyak warga
meninggaikan dan tidak lagi bekerja di lahan pertanian semua provinsi di
Indonesia praktis mengalami situasi macam
ini, dimana kalbar dan kalteng termasuk provinsi yang mengalami tingkat
de-agrarianisasi paling pesat bila dibandingkan data tahun 1970-1980-an dengan
data tahun 1990-an. Inilah mengapa kedua wilayah itu secara struktur menjadi
lebih “tidak stabil” pasca 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar