Jumat, 06 Juli 2012

Kerusuhan KALBAR dan KALTENG



1.     Meletusnya kerusuhan kalbar dan kalteng
Sejumlah konflik komunal berdarah telah mengguncang beberapa daerah di Indonesia pada sekitar akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Gelombang konflik dengan kekerasan ini merisaukan banyak kalangan, disamping lantaran lambannya penyelesaian oleh Negara, juga menyangkut jatuhnya korban yang tidak sedikit. Berbagai penjelasan dan hipotesis telah dikemukakan untuk menganalisis terjadinya konflik. Ada pandangan bahwa transisi politik otoritarianisme menujudemokratisasi diduga sebagai salah satu variable antara terjadinya berbagai konflik komunal di nusantara yang multicultural ini.
Keadaaan ketidakpastian di masa transisi rezim telah menyebabkan gejala lemah dan gagalnya Negara dalam menegakan aturan dan control terhadap masyarakat. Beberapa pihak juga mengaitkan akumulasi dampak negative pembangunan Orde Baru, seperti ketidakadilan (marginalisasi), kesenjangan ekonomi, maupun factor cultural dan rusaknya jaringan social budaya local-tradisional sebagai sumber pendukung pecahnya konflik komunal, sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.
Konflik kekerasan yang terjadi di provinsi kalbar dan kalteng bisa dikatakan sebagai kerusuhan antar-etnik. Kelompok masyarakat yang mengatas namakan dirinya sebagai suku asli Kalimantan yang disebut etnik Dayak dan Melayu, berhadapan dengan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai pendatang dari pulau Madura (Etnik Madura). Saling bunuh tak terhindarkan bagaikan antaretnik sudah tidak saling percaya dan mengangggap eksistensim suku yang satu menjadim penghalang eksistensi suku yang lain.
Kerusuhan pecah pada akhir Februari 2011 di wilayah Kalteng. Ribuan orang Dayak yang bersenjatakan busur, panah, tombak memburu warga ,dari etnik Madura. Tindakan perusuhan dan perusakan nyaris berlangsung di semua desa.kerusuhan semula terjadi disekitar sepekan di kota Sampit, namun kemudian merembet ke Kuala papuas, Pangkalan Bun, dan palangkaraya. Kurang dari dua pecan, orang dayak telah memburu lebih dari 400 orang Madura dan 80.000 sisanya dipaksa keluar dari bumi Kalimantan untuk kembali ke daerah asalnya di Pulau Madura.


Dua tahun sebelumnya kerusuhan serupa meletus di Kalbar, Yakni tepatnya pada Februari 1999 yang terjadi di Kabupaten Sambas. Pada kejadian di Sambas, etnik Dayak membantu etnik Melayu dengan target yang sama, yakni suku Madura. Catatan resmi menyebutkan korban menunggal sekitar 200 orang. Konflik ini masih berlanjut, sebab setahun kemudian pada 25 Oktober 2000, Massa dalam jumlah besar kembali mengepung GOR Pontianak, tempat penampungan pengungsi dari kelompok etnik Madura.
Kendati dari sudut actor pelaku tindak kekerasan dilapangan terdapat persamaan, dari karakteristik dan sumber konflik diantara keduanya terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Konflik etnik di Kalbar, khusunya antara dayak  melawan Madura memiliki sejarah yang panjang dan telah berlangsung beberapa decade. Pertikaian terjadi sejak 1950-an antara etnik dayak dan Madura yang tiada berkesudahan dan telah mengakibatkan ribuan orang terbunuh dari kedua pihak. Hubungan social antar-etnik di wilayah ini tidak berjalan dengan baik. Konflik lebih mengemuka dibanding dengan kerja sama, serta integrasi gagal terwujud.
Berkurangnya daya dukung lingkungan akibat pembangunan yang merusak lingkungan serta memarginalkan penduduk asli setempat telah mengakselerasi dan mengakumulasi prasangka antar-etnik, sementara dilain pihak pola pemukiman khususnya warga Madura tersegregasi secara eksklusif. Pemukiman-pemukiman yang terpisah dari penduduk setempat ini telah mempersulit terjadinya kontak social dengan warga etnik lain. Situasi berbeda akan terlihat di Kalteng, dimana dalam sejarahnya hampir dapat dikatakan tidak pernah terjadi konflik yang menjurus pada kekerasan, kecuali menyangkut bebrapa konflik kecil.
Hubungan social antara warga pendatang dengan penduduk asli terjalin dengan cukup baik, kendati mulai diperumit dengan masalah semakin terdesaknya suku asli Dayak dari kehidupan ekonomi. Itulah mengapa banyak pihak yang terkejut bagaimana mungkin kerusuhan di sampit pada 2001 menjadi sangat massif dan mengakibatkan ratusan orang tewas.
Ada beberapa factor penyebab mengapa konflik di kalbar dan kalteng bisa meluas. Selain kebijakan komersialisasi hutang yang cenderung membuat rakyat setempat menjadi frustasi, tidak ditegakannya hokum oleh aparat keamanan , situasi politik yang tidak menentu, resesi ekonomi, euphoria otonomi daerah, kemajuan etnisitas, tidak adanya budaya dominan, dan adanya perbedaan budaya antara kaum pendatang dengan penduduk setempat. Yang tidak kalah pentingnya adalah kemungkinan peranan provokator khususnya yang terjadi di kalteng.
Jelas terdapat perbedaan antara kalangan kulturalis dan strukturalis dalam member gambaran sistematis tentang kehidupan kota-kota (kecil-menengah) di luar jawa. Sisi cultural mendasarkan analisisnya pada indicator-indikator seperti tingkat kekerabatan dari kelompok-kelompok etnik dan agama, munculnya sikap-sikap intoleran dan sejarah dari konflik komunal. Sementara pandangan structural mengamati sejumlah variable seperti masalah pengangguran, mobilitas social, , pendidikan, dan indicator kehidupan social lainnya seperti tingkat kelahiran dan kematian. Senantiasa ada perdebatanbagaikan tiada akhir dan tak bertepi dalam member penjelasan atas suatu konflik komunal, yakni apakah itu bersumber dari factor adanya dendam primordial ataukah akibat dampak dari mobilitas social.
Salah satu penjelasan structural menyatakan bahwa kepentingan ekonomi merupakan variable penting bagi konflik komunal. Penting diperhatikan mengenai seberapa banyak warga yang tidak lagi bekerja di penghidupan utamanya semula sebagai petani dan nelayan. Orang-orang semacam itu akan menetap di kota atau bergantung padanya untuk mencari penghidupan. Disini terjadilah peningkatan dalam populasi pekerjaan non-pertanian, yang disebut de-agrianisation, sebagai fenomena yang terjadi di banyak Negara fenomena memperlihatkan adanya penurunan ketergantungan pada bidang pertanian yang disebabkan oleh peningkatkan masukanya kehidupan kota di pedesaaan.
Indonesia selama masa orde baru merupakan salah satu Negara yang mengalami pergeseran besar-besaran sehingga banyak warga meninggaikan dan tidak lagi bekerja di lahan pertanian semua provinsi di Indonesia praktis mengalami situasi  macam ini, dimana kalbar dan kalteng termasuk provinsi yang mengalami tingkat de-agrarianisasi paling pesat bila dibandingkan data tahun 1970-1980-an dengan data tahun 1990-an. Inilah mengapa kedua wilayah itu secara struktur menjadi lebih “tidak stabil” pasca 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar